Dalam dekade terakhir ini, busana santun (modest fashion atau modest wear) yang dulu dikenal sebagai busana muslim, berkembang pesat dari sisi kreativitas dan bisnis. Banyaknya label busana santun dari berbagai kelas bahkan cukup untuk membentuk beberapa acara komersial khusus tahun-tahun ini. APPMI sempat menyelenggarakan Indonesia Islamic Fashion Festival (IIFC) selama beberapa tahun. Saat kelompok yang memotorinya membentuk organisasi baru, Indonesian Fashion Chamber (IFC), lahirlah Muslim Fashion Festival (Muffest) pada tahun 2016.
Pada usianya yang ke-4 ini, sambil tetap merangkul berbagai segmen dalam pasar mode santun, Muffest terlihat lebih menyasar demografi wanita muslimah aktif dan sosiografi wanita yang peduli pada isu sosial seputar bisnis mode. Sejak label pakaian jadi seperti H&M, Zara, dan Topshop, mengguncang bisnis mode dengan pakaian murah bervolume besar tiap 4-6 minggu (fast-fashion), kritik membanjiri industri mode atas penggerusan sumber daya lingkungan dan penekanan tarif pekerja. Ide slow-fashion atau sustainable-fashion lantas mulai dilambungkan. Sebuah model bisnis yang selain lebih sadar lingkungan dan manusiawi, juga memungkinkan desainer lokal bersaing dengan label global.
Dalam menyasar isu ini, Muffest ke-4 bergandengan dengan Asia Pacific Rayon (APR), perusahaan viscose rayon terintegrasi pertama di Asia yang beroperasi di Riau. Perusahaan ini merupakan bagian dari grup Royal Golden Eagle, yang didirikan Sukanto Tanoto pada tahun 1973. Memulai produksinya pada awal 2019 dengan kapasitas 240.000 ton per tahun, APR menawarkan serat viscose rayon yang digadang ramah lingkungan dalam tiap rantai produksi, dan dilengkapi beberapa sertifikat pendukung. Apa sebenarnya serat viscose rayon? Definisi dasar rayon adalah serat yang bisa didapatkan dari selulosa atau serbuk semua jenis kayu, termasuk bambu. Viscose lebih khususnya adalah rayon yang berasal dari pohon akasia, dan lebih populer di Amerika Serikat.
Karena lentur dan halus namun tidak rapuh, serat rayon banyak diolah menjadi beberapa merek dagang seperti Modal, yang sering didapati pada baju yoga premium, dan Tencel, yang dipakai Sejauh Mata Memandang untuk koleksi Hari Bumi tahun ini. Dalam Muffest 2019 ini, APR menjembatani penyalur tekstil viscose rayon dengan 8 desainer terpilih IFC, dan finalis kompetisi Modest Young Designer Competition. Kedelapan desainer IFC tidak mengecewakan dalam mengolah viscose rayon menjadi koleksi yang menarik, dinamis, dan urban.Ali Charisma menunjukkan kelasnya dengan layering yang tertata dan teknik kerut yang halus. Tetap santun tanpa keluar jauh dari jejak desainnya yang selalu menyanjung visual feminin ideal. Sofie menabrakkan berbagai motif plaid dalam struktur tumpuk menyatu, bukti kepiawaian teknik jahit tersendiri.
Batik Chic by Novita Yunus sukses mengawinkan motif hitam-putih dengan bordir, setia pada DNA ready-to-wear yang mudah diterima pasar. Raegita Zoro dan Hannie Hananto bermain dengan bentuk geometris dalam warna-warna nyaring, 2 koleksi yang terasa edgydan segar. Weda Githa dan Aldre Indrayana merambah ke menswear, sebuah eksperimen yang jarang dilakukan dalam lingkup mode santun, dan berhasil menawarkan 2 koleksi yang berselera.
Apakah secara komersial akan diterima pasar? Semua tergantung pada kekuatan daya beli dan kesadaran konsumen akan dampak lingkungan dari pakaian yang dibelinya. Seperti yang diutarakan dalam perayaan 10 tahunnya baru-baru ini, merek busana santun Ria Miranda pernah mencoba koleksi eco-conscious namun kurang disambut hangat, tersandung harga tekstilnya yang lebih tinggi. Fakta ini menarik mengingat sebagai salah satu pemrakarsa komunitas hijabers, Ria Miranda adalah salah satu penguasa pasar. Dengan kekuatan solid Ria Miranda Loyal Community (RMLC) yang bukan saja setia membeli 8 koleksi yang dikeluarkan label-label Ria Miranda dalam setahun, namun juga ludes menyerbu koleksi kapsul dengan Cotton Ink dalam hitungan jam minggu lalu. Pernyataan ketua nasional IFC Ali Charisma saat membuka Muffest 2019, bahwa pekerjaan rumah terbesar sustainability fashion adalah inovasi dari sisi industri tekstil dan desainer, diimbangi edukasi di sisi konsumen dirasa tepat. Pada tahun 2015 Jakarta Fashion Week telah memulai dialog ini dalam dunia mode konvensional Indonesia, dengan mendatangkan Lucy Siegle, jurnalis di balik buku dan dokumenter The True Cost. Ditambah dengan menggulirkan isu sosial ini lebih jauh ke segmen mode santun tahun ini, Muffest terlihat membedakan diri dari forum mode santun lainnya.
Tipe konsumen lain yang khusus dibidik Muffest ke-4 adalah wanita urban yang dinamis. Terlihat dalam pemberian panggung pada Noore, label busana olahraga santun buatan Indonesia.
Salah satu keluhan terbesar muslimah berhijab adalah sulitnya menemukan pakaian olahraga yang tidak keluar dari batasan busana muslim. Noore menawarkan pilihan, termasuk hijab dari material yang menyerap keringat, anti-kuman, dan berperisai antiultraviolet 30 persen.
Nampak serius dalam menggarap ceruk pasar berpotensi ini, Noore sudah menyambangi beberapa federasi olahraga Indonesia untuk uji coba keamanan dan kenyamanan produknya, serta mencanangkan kolaborasi dengan desainer Jenahara Nasution yang dikenal giat berolahraga. Selain Noore yang menggelar desainnya sampai ke runway, kompetitornya pun bisa ditemui di lantai pameran yang sama. Hal ini menandakan berkembangnya tipe pemakai busana santun di Indonesia. Peluang pun bukan hanya terbatas pada muslimah Indonesia, namun pada semua wanita aktif berolahraga yang kadang membutuhkan busana yang lebih tertutup demi kesantunan atau perlindungan kulit terhadap paparan matahari. Pasar busana santun Indonesia masih dalam fase pertumbuhan, penuh potensi bisnis sekaligus peluang edukasi. Bila Indonesia serius dalam mewujudkan mimpi untuk menjadi kiblat mode santun dunia, maka yang perlu didorong bukan hanya kreativitas desain, namun juga inovasi teknologi dalam produksi dan tanggung jawab sosial. Perjalanan masih jauh, namun Muffest mengambil langkah yang berarti tahun ini.
Source: Kumparan-Bisnis Modest Wear dari Sisi Komersial dan Isu Sosial